“Apa gunanya aku berdukacita, bila dapat bersukacita? Apa gunanya aku
menangis bila dapat tertawa? Bukankah menangis itu menyedihkan hati dan
sedih itu merusakkan badan? Tetapi tertawa menambah kesehatan tubuh. Apa
gunanya sejengkal, dipikirkan sampai sedepa? Bukankah lebih baik
digulung, jadi pendek dan disampul sampai mati?
Apakah gunanya dipikirkan hal yang akan terjadi pada esok lusa, sebulan atau setahun lagi? Karena hal itu belum tentu. Jika terjadi juga, bagaimana nanti saja. Ada umur, ada rezeki. Dan lagi, apa faedahnya diingat juga sekalian yang telah lalu? Bukankah barang yang telah terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar dengan kuda sembrani sekalipun? Tidakkah lebih baik hal yang sekarang ini saja yang dipikirkan dan dibuat seboleh-boleh, supaya menjadi hal yang dapat menyenangkan hati dan menyentoskan pikiran?” (Kutipan Alm. Marah Rusli).
Apakah gunanya dipikirkan hal yang akan terjadi pada esok lusa, sebulan atau setahun lagi? Karena hal itu belum tentu. Jika terjadi juga, bagaimana nanti saja. Ada umur, ada rezeki. Dan lagi, apa faedahnya diingat juga sekalian yang telah lalu? Bukankah barang yang telah terjadi, tiada dapat diubah lagi, walau dikejar dengan kuda sembrani sekalipun? Tidakkah lebih baik hal yang sekarang ini saja yang dipikirkan dan dibuat seboleh-boleh, supaya menjadi hal yang dapat menyenangkan hati dan menyentoskan pikiran?” (Kutipan Alm. Marah Rusli).